Saturday, March 12, 2011

Mana yang lebih baik: Syahadah atau Kemenangan?

Seorang anshar dan muhajir[1] duduk sembari memperbincangkan Kitabullah dan ayat-ayat jihad. Mereka duduk sambil saling menyemangati untuk tetap istiqomah berjihad di jalan Allah. Mereka membaca ayat: 

Katakanlah: "tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan [yakni, syahadah atau kemenangan]. Dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu." [QS At Taubah: 52].
 
Sang muhajir berhenti pada bagian {…dua kebaikan} maka sang anshar berkata kepadanya: yakni kemenangan atau syahadah.
Sang muhajir bertanya: Kemenangan atau syahadah?
Sang anshar berkata: Ya, kemenangan atau syahadah.
Sang muhajir bertanya: Mana yang lebih baik bagi mujahid, kemenangan atau syahadah?

Sang anshar berkata: Saudaraku, tidakkah engkau mendengar ayat:
{[Dan mereka adalah] orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.} [QS. Al Hajj: 41]?
Kekuasaan atas suatu wilayah hanya dapat terjadi setelah kemenangan atas musuh-musuh agama.

Sang muhajir berkata: Itu benar, wahai sahabatku, tetapi Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? [Yaitu] kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan [memasukkan kamu] ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan [ada lagi] karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.} [QS. Ash-Shaff: 10-13].
Jadi, setelah Allah memperlihatkan kenikmatan yang telah disiapkan-Nya bagi orang-orang mukmin dan menyebutnya “karunia yang besar,” Dia berfirman "dan [karunia—penterj.] lainnya:” {pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat}. Jadi, Allah menyebutnya [karunia] “lainnya.”

Sang anshar berkata: Saudaraku, kemenangan berarti mengalahkan musuh-musuh agama dan kemudian menerapkan hukum sesuai syari'ah.
Sang muhajir berkata: Bukankah syahadah merupakan kemenangan bagi prinsip?
Sang anshar berkata: Mari kita kembali ke Kitabullah dan mencari jawaban bagi pertanyaan ini.
Sang muhajir berkata: Baik, mari kita kembali. Allah berfirman: 
{Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.} [QS. An Nisa: 59].

Sang anshar berkata: Saudaraku, Allah telah menciptakan Adam dan menurunkannya ke dunia dengan perintah untuk membangunnya. Adam dan keturunannya hidup selama sepuluh abad dengan menganut agama Allah dan kemudian segalanya berubah sementara orang-orang pun menjadi ingkar. Allah mengirim para utusan dan yang pertama di antara mereka adalah Nuh. Allah memerintahkannya untuk mengajarkan ummat tentang keesaan Allah. Nuh tetap bersama mereka selama ratusan tahun namun hanya beberapa gelintir orang yang beriman. Ketika beliau melihat bahwa tidak ada kebaikan pada ummatnya, beliau pun berdoa kepada Allah agar menghancurkan mereka dan Allah mengirimkan banjir yang menenggelamkan semua orang kafir sementara orang-orang mukmin selamat. Dengan setiap utusan-Nya, Allah akan memberi utusan tersebut dan para pengikutnya kemenangan sementara orang-orang kafir dihancurkan.

Allah berfirman: 
{Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [yaitu] sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan} [QS. Ash-Shaaffaat: 171-172]. 

Allah mengadzab kaum 'Aad, Tsamud, kaum Aikah, kaum Luth, dan kemudian Fir’aun dihancurkan dan Allah memberikan kemenangan kepada Musa dan Bani Israil. Allah tidak menghancurkan orang-orang kafir setelah Fir’aun melainkan menjadikan adzab mereka dengan tangan-tangan orang mukmin yang diperintahkan-Nya supaya berjihad sebagaimana Ia berfirman:
{Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan [perantaraan] tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan memberimu kemenangan terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman} [QS. At Taubah: 14].

Sang muhajir berkata: Ini tidak selalu berarti bahwa kemenangan lebih baik daripada syahadah bagi mujahid. Merupakan kehormatan besar bagi manusia bila dapat mempersembahkan nyawanya, yang merupakan hal paling berharga baginya, di jalan Allah. Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan ditukar surga. Allah berfirman:
{Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.} [QS. At Taubah: 111].

Dan tak boleh kita lupakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam ketika beliau bersabda: "Dinampakkan kepadaku semua umat, lalu saya melihat ada seorang Nabi bersama beberapa pengikutnya, ada seorang nabi bersama satu atau dua pengikut, dan ada seorang nabi yang tidak memiliki pengikut satupun.”[2]

Beberapa nabi dibunuh oleh kaum mereka sendiri, maka apakah boleh seorang Muslim mengatakan bahwa mereka tidak meraih kemenangan? Sungguh, mereka telah meraih kemenangan karena prinsip-prinsip mereka dan apa yang mereka perjuangkan telah membuat mereka meraih kemenangan. Bila semua mujahidin terbunuh sampai orang terakhir dari mereka di jalan Allah, maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai kekalahan karena mereka telah mengerjakan tugas mereka dan Allah akan, pastinya, memberikan kemenangan bagi agama-Nya, sedang darah para syuhada akan membangkitkan orang-orang setelah mereka.

Imam Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain meriwayatkan kisah ashabul ukhdud. Dalam kisah tersebut ada pemuda yang belajar dari penyihir dan pendeta kemudian akhirnya mengikuti sang pendeta. Ketika sang raja ingin membunuh pemuda ini, pemuda ini berkata kepada sang raja: Anda tidak akan bisa membunuh saya sampai Anda berkata ketika memanah saya: "Dengan nama Allah, Tuhan si pemuda ini." Ketika raja melakukannya, pemuda ini pun terbunuh namun orang-orang yang menyaksikan kematiannya menjadi beriman dan berkata: "Kami beriman kepada Tuhan pemuda ini."
Allah menjadikan kematian pemuda tersebut sebagai alasan di balik keimanan orang-orang tersebut. Maka, bolehkah kita katakana bahwa pemuda tersebut tidak meraih kemenangan? Sama sekali tidak. Dia sungguh telah menang karena seruannya kepada kaum tersebut berhasil dan khalayak pun menjadi orang-orang mukmin. Oleh karenanya, mujahid harus berniat supaya menjadi syuhada. Dia harus menghasratkan syahadah entah sebagai pemimpin atau pun pengikut, apapun posisinya, dan tidak boleh hanya mempedulikan kemenangan karena kemenangan itu dari Allah dan Dia memberikannya kepada hamba-Nya jika Dia berkehendak.

Sang anshar berkata: Lantas, apa untungnya melakukan persiapan menghadapi musuh bila yang harus kita hasratkan adalah supaya gugur di jalan Allah?
Sang muhajir menjawab: Saya tidak bermaksud supaya kita mengesampingkan persiapan, karena persiapan memang suatu kewajiban dan keharusan bagi mujahidin. Allah berfirman:
{Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [yang dengan persiapan itu] kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu} [QS. Al Anfal: 60].
Namun mujahid harus diajarkan makna ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengajari sahabat-sahabat beliau.

Sang anshar berkata: Tunjukkanlah padaku beberapa contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Sang muhajir berkata: Tentu saja. Pertama: Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam membai’at sahabat-sahabat anshar, mereka bertanya ‘kami harus berbai’at apa?’ Beliau bersabda: "Kalian berbai’at untuk mendengar dan patuh baik dalam kondisi lapang atau pun sempit, untuk menafkahkan harta kalian baik ketika kalian kaya atau pun ketika miskin, untuk memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan, menyeru untuk Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela, serta memberiku dukungan bila aku datang kepada kalian dan melindungi aku sebagaimana kalian melindungi diri kalian sendiri dan istri serta anak-anak kalian. Sebagai gantinya, kalian akan mendapatkan surga."

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam ketika memberikan ganti bagi apa yang beliau minta dari kaum anshar tidak menjanjikan mereka sesuatu pun dari dunia ini. Beliau hanya menjanjikan mereka surga dan surga hanya akan hadir setelah kematian. Maka, apakah engkau ingin mati secara alami ataukah gugur sebagai syuhada?

Kedua: Allah telah menjanjikan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dalam perang Badr kemenangan entah atas kafilah atau atas suatu pasukan. Allah berfirman:
{[Ingatlah, hai orang-orang yang beriman], ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu} [QS. Al Anfal: 7].
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam melihat para malaikat sebelum peperangan, beliau memberitahukan kepada para sahabat: “Majulah menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi.” Beliau tidak berkata: Majulan menuju kemenangan meski Allah telah menjanjikan kalian dengan kemenangan.

Jadi, mujahid harus dilatih supaya mencintai syahadah, surga serta kenikmatan dari Allah, tetapi kemenangan itu dari Allah. Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memahami makna ini dan benar-benar menerapkannya. Ketika Abu Bakar mengirimkan pasukan, maka dia akan berkata: "Carilah kematian untuk kehidupan yang akan diberikan kepadamu."

Dan Khalid bin al-Walid mengirimkan surat kepada para pemimpin Persia dan mengancam mereka dengan mengatakan: "Dari Khalid bin al-Walid kepada pemimpin Persia, keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Segala puji bagi Allah yang telah menanggalkanmu dari kerajaanmu, melemahkanmu, memecah belahmu, dan mengambil darimu kenikmatan yang dulu diberikan kepadamu. Terima syarat-syaratku dan bayarlah jizyah, jika tidak, dengan Allah yang tidak sesembahan selain Dia, akan saya serang Anda dengan orang-orang yang mencintai kematian sebagaimana Anda mencintai kehidupan."

Begitulah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Mereka mencintai kematian di jalan Allah sehingga Allah memberi mereka kemenangan di dunia ini. Oleh karena itu, kecintaan terhadap syahadah di jalan Allah, meski hal itu sendiri merupakan prestasi besar, juga merupakan gerbang menuju kemenangan dalam hidup ini, karena siapa yang dapat menandingi orang yang mencintai kematian sebagaimana orang lain yang mencintai kehidupan?

Sang anshar berkata: Demi Allah saya tidak tahu perbedaan besar antara kedua hal yang disebutkan dalam ayat tadi dan saya baru sadar bahwa syahadah itu lebih besar dari kemenangan, justru, syahadah itu sendirilah yang merupakan kemenangan.
Sang muhajir berkata: Kudwah hasanah kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menginginkan kedudukan syahadah bagi diri beliau sendiri meski beliaulah manusia termulia dari ummat manusia. Beliau bersabda: "Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku ingin berperang di jalan Allah lalu terbunuh kemudian berperang lalu terbunuh, kemudian berperang lalu terbunuh."[3]

Jadi siapakah di antara kita yang menginginkan apa yang dihasratkan oleh orang termulia dari ummat manusia untuk diri beliau sendiri tiga kali, meski beliaulah pemilik kedudukan tertinggi di surga?

Ya Allah karuniakan kepada kami syahadah dan ambillah darah, harta dan waktu kami sampai Engkau ridho.
Sang anshar berkata: Amin

[1] Seorang muhajir adalah orang yang berhijrah ke suatu tempat di jalan Allah demi agamanya. Seorang anshar adalah orang yang membantu muhajir tiba di tempat tersebut.
[2] HR. Muslim.



No comments:

Post a Comment